Menurut Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A.
Ruwatan Untuk Menolak Bala’ (Bencana)
Dalam perspektif ini, ajaran Islam dapat dikaegorikan
menjadi tiga dimensi, yaitu:
- Yang berdimensi Ta’abbudiy: ritual, vertical dan universal
- Yang berdimensi Ijmita’iy: social, horizontal dan universal
- Yang berdimensi Tsaqafiy: kultural, horizontal dan local
Tapi dalam aplikasinya, ketiga dimensi tersebut tidak selalu
dapat dipilih secara distinctive (jelas) melainkan satu sama lain sering saling
terkait.oleh karenanya harus lebih berhati hati dalam penerapannya,
tetapi juga
tak perlu terlalu kaku sehingga akan terjadi dakwah kontraproduktik karena
berlawanan secara diametral dengan apa yang telah berlaku dimasyarakat. Dalam
menghadapi hal-hal social kultural, apa yang dilakukan Wali songo dalam
berdakwah yang sangat akomodatif, dan patut dicontoh.
Sehubungan dengan tradisi ruwatan dalam bentuk slametan dan
lain sebagainya menyambut tahun baru, maka hal itu dapat dimasukan dalam
kategori ajaran Islam yang berdimensi sosial dan kultural, sehingga kita bisa
bersikap lebih fleksibel dan akomodatif. Dalam kategori ini yang dituntut
adalah substansinya harus sesuai dan/atau tidak bertentangan dengan esensi
aqidah Islam.
Ruwatan dalam bentuk slametan di masyarakat kita sering
berwujud “sedekah” yang berupa menyajikan ambeng (nasi lengkap dengan lauk
pauknya yg ditempatkan dalam suatu wadah relative besar dan cukup dimakan untuk
beberpa orang) atau makanan tertentu yang diperntukkan bagi jamaah/masyarakat
dengan terlebh dahulu dibacakan doa-doa Islamiy. Ruwatan/slametan model ini
diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan esensi ajaran Islam. Memang
secara khusus dalam Islam tidak ada jenis ritual tertentu untuk menolak bala’
(bencana), tetapi doa-doa permohonan agar diselamatkan dari bencana sunggu
sangat banyak, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Mengenai slametan apakah
bisa menolak bala’, dalam sebuah hadis shahih Rasulullah SAW bersabda:
Ash-shodaqotu tadfa’ul balaa’ (sedekah itu dapat menjadi perantara tolak
bencana). Istilah tolak bala’ mestinya tidak tepat, karena sesungguhnya
siapapun tidak dapat menolak bala’, melainkan hanua memohon kepada Allah SWT
agar terhindari dari bala’. Hanya saja istilah (tolak/menolak bala’) sudah
populer dimasyarakat, sehingga kalaupun dipergunakan, yakin Allah SWT pasti
memaklumi dan memaafkan.
Tetapi juka ruwatan itu berupa mandi kemban tujuh rupa,
gemblengan (isi kesaktian) dan sejenisnya, maka terlebih dulu harus bisa
dejelaskan filosofi dan prosedurnya, sehingga penyikapannya mesti secara
kasuistik. Hanya secara umum cenderung ada
“pelanggaran aqidah” didalamnya, sehingga tentu tidak diperbolehkan.
Apakah slametan untuk tolak bala’ itu tidak tertentangan
dengan rukun iman yang keenam karena berarti mengubah taqdir. Justru selagi
masih berupa taqdir (belum terjadi) kita diharuskan berusaha mengubahnya dengan
usaha dan doa. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyatakan: “Ad-du’aa’ yughoyyirut taqdir” (doa itu bisa
mengubah taqdir). Oleh karena itu pemahaman masyarakat tentang taqdir ini perlu
diluruskan.
Taqdir adalah derivasi qaddara, yuqaddiru, taqdiran yang
secara etimologis berarti perkiraan, penentuan berdasar kira-kira, ukuran dan
lain-lain. Sedangkan secara terminologis adalah ketentuan Allah SWT bagi semua
makhluq yang bersifat perkiraan, opsional bisa berubah dengan batas minimal dan
maksimal sesuai kehendak-Nya. Banyak ayat-ayat doa, baik perintah berdoa maupun
beberapa redaksi doa, memperkuat pendapat bahwa taqdir itu bisa berubah atas
“usul” manusia dalam doa. Sebab kalau doa tidak bisa merubah tqdir (tentunya
atas perkenan Allah SWT), maka untuk apa kita disuruh berdoa. Terhadap taqdir
ini manusia harus berusaha keras mencapainya dengan ikhtiar dan doa.
Adapun qadla’ adalah derivasi dari qadlaa, yaqdliy,
qadlaa-an yang secara etimologi berarti keputusan atau ketetapan. Sedangkan
secara terminologi adalah keputusan Allah SWT bagi semua makhluq yang bersifat
final, tidak dapat berudah dan merupakan hak prerogative-Nya. Banyak ayat
tentak kemahakuasaan Allah menunjukan bahwa pemilik keputusan akhir yang mutlak
adalah Allah SWT. Terhadap qadla’ ini, manusia harus tawakkal, ridlo dan
menyadari keterbatasnya.
Ayat yang paling popular tantang taqdir dan qadla’ ini
adalah firman Allah dalam surat ar-Ra’d 11 yang maknanya:….sungguh Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri berusaha mengubah nasib
mereka. Dan bila Allah menghendari musibah terhadap suatu kaum, maka tidak ada
yang menolaknya, dan mereka tidak mempunya pelindung selain Allah.
Yang harus disadari adalah bahwa pada hakekatnya taqdir dan
qadla’ ini merupakan “rahasia” Allah SWT Yang Maha Tahu dan Maha Bijak,
sehingga dalam menyikapi dan menjalani taqdir dan qadla’ manusia harus berusaha
secara maksimal, berdoa secara maksimal
dan bertawakkal secara maksimal pula.
Wallaahu a’lam
salam kenal
ReplyDelete