Menurut Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A.
Sebelumnya perlu dijelaskan hal-hal yang terkait dengan maqaashid asy-syarii’ah (tujuan pokok
ajar islam), yakni terwujudnya adl-dlaruuriyyaat
al-khams (lima hak asasi), yakni
chifdhuddin, chifdhunnafs, ghidhul’aql, chifdhunnasl/’irdl, dan chifdhulmaal
(hak beragama, hak hidup, hak berpendapat, hak reproduksi/kehormatan dan hak
memiliki).jika eksistensi kelima hak tersebut terancam, maka untuk
mempertahankannya boleh ditempuh “hampir” dengan segala cara, sampai kalaupun
harus melanggar hal-hal yang dilarang, karena dianggap dalam keadaan darurat.
Hal didasarkan pada banyak dalil dan kaidah ushul
fiqih, antara lain makna
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 173: “Sungguh Allah SWT mengaharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT. Tetapi
barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (darurat)sedang ia tidak
menginginkannya dan juga tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sungguh Allah SWT itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Dan kaidah ushul
fiqih yang amat popular: “adl-dlaruuraatu
tubiichul machdhuuraat” (keadaan
darurat itu menyebabkan bolehnya diklakukan hal-hal yang dilarang).
Terkait dengan pengobatan memakai barang najis (kencing,
misalnya), maka hal ini dapat dikaitkan dengan menjaga eksistensi jiwa (nyawa,
chifdhunnafs), artinya orang yang sakit itu bisa terancam jiwanya, karenaitu
harus berobat sebagai upaya penyembuhan dalam rangka mempertahankan eksistensi
jiwanya. Maka dari itu para fuqaha’ sepakat, bahwa berobat itu hukumnya wajib.
Mengenai cara yang ditempuh untuk
pengobatan suatu penyakit, maka boleh dengan cara apa saja asal tidak
melanggar ketentuan pokok ajaran islam, yakni tidak menempuh jalan syirik.
Tetapi dalam pengobatan ini mestinya semua muslim mengerti dan pada dasarnya
harus meyakini, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT
menurunkan penyakit dan obatnya. Dan menjadikan obat pada setiap penyakit. Maka
berobatlah kamu tetapi jangan berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud,
at-Tirmidziy, an-Nasa-iy dan al-BAihaqiy dari Abu Darda’). Jadi prinsip ini
yang harus di pedomani terlebih dahulu, yakni berobat dengan yang halal, atau
tidak berobat dengan yang haram. Tetap jika ada penyakit yang belum ditemukan
obatnya, dan baru diketahui obatnya yang justru dari barang haram, maka hal ini
tentu masuk dalam kategori perkecualian, dan boleh menggunakan dasar darurat.
Kebebasan cara tersebut tentu harus dengan tetap mematuhi
prosedur pengobatan yang secara medis dianggap wajar. Artinya, siapapun muslim
yang sakit maka harus berobat dengan cara-cara yang halal menurut ketentuan
ajaran islam. Tetapi apabila berbagai cara halal sudah ditempuh ternyata belum
sembuh, maka jika ada cara lain yang diyakini dapat menjadi perantara
kesembuhannya, walaupun cara itu haram seperti menggunakan barang najis (minum
air kencing, misalnya) maka diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadis yang
menyatakan bahwa orang yang sakit pada zaman Nabi SAW diperbolehkan meminum air
kencing onta sebagai obat (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Juga didasarkan pada
kaidah ushul fiqih diatas : “adl-dlaruuraatu
tubiichul machdhuuraat” (keadaan
darurat itu menyebabkan bolehnya diklakukan hal-hal yang dilarang).
Yang dimaksud keadaan darurat yang membolehkan
dilakukannya hal-hal yang mestinya dilarang adalah keadaan sangat terpaksa
yang apabila dibiarkan akan terjadi kehancuran atau bahkan kematian. Keadaan
tersebut terkait eksistensi agama, nyawa, akal, keturunan/kehormatan dan harta.
Sedang penetapan apakah sesuatu itu sudah dalam keadaan darurat atau belum,
maka harus dilakukan oleh orang yang berakal sehat, berhati taat dan berilmu
manfaat (terkait keadaan tersebut).
Tetapi jika cara penyembuhan itu mengandung syirik, maka
apapun alasannya tetap tidak diperbolahkan. Keadaan darurat tidak dapat dipakai
jika solusinya syirik. Lebih baik tetap sakit atau bahkan mati, dari pada harus
menukar agama atau mengotori aqidah dengan syirik, karena Allah SWT tidak
berkenan mengampuni dosa syirik (kalau sampai terbawa mati), sebagaimana
firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 116 (yang maknanya): “Sungguh Allah SWT tidak berkenan mengampuni dosa karena
mempersekutukan-Nya, dan berkenan mengampuni dosa apa saja selain syirik
tersebut, bagi siapa saja yang dikendaki-Nya…”
Bagaimana halnya jika ada suplemen, serum atau apapun
namanya dengan bahan baku dari unsur babi, khamr, darah atau bangkai, yang
dipergunakan untuk imunisasi (kekebalan terhadap penyakit), maka hal tersebut
tidak dapat dibenarkan pemakaiannya karena belum dalam keadaan darurat. Juga
harus dipertanyakan tidak adakah bahan selain babi, khamr, darah atau bangkai?
Tapi apabila suatu waktu ada penelitian akurat terhadap air kencing misalnya, yang
dilalukan oleh peneliti muslim dan diakui oleh dokter muslim, bahwa air kencing
amat bermanfaat bagi kesehatan, kemudian diolah sedemikian rupa sehingga hilang
identitasnya sebagai air kencing, maka dapat dan boleh dijadikan bahan
imunisasi, karena keharaman air kencing masih interpretable dan memiliki kelenturan, tidak seberat dan seketat
haramnya babi, khamr, darah atau bangkai. Mengenai najisnya substansi air
kencing, secara fiqhiyyah ttidak dapat ditawar, diapakan pun tetaplah najis.
Wallaahu a’lam
No comments:
Post a Comment