Tuesday, April 23, 2013

Bagaimana Hukum Pengobatan dengan Barang Najis?

Menurut Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A.

     Sebelumnya perlu dijelaskan hal-hal yang terkait dengan maqaashid asy-syarii’ah (tujuan pokok ajar islam), yakni terwujudnya adl-dlaruuriyyaat al-khams (lima hak asasi), yakni chifdhuddin, chifdhunnafs, ghidhul’aql, chifdhunnasl/’irdl, dan chifdhulmaal (hak beragama, hak hidup, hak berpendapat, hak reproduksi/kehormatan dan hak memiliki).jika eksistensi kelima hak tersebut terancam, maka untuk mempertahankannya boleh ditempuh “hampir” dengan segala cara, sampai kalaupun harus melanggar hal-hal yang dilarang, karena dianggap dalam keadaan darurat. Hal didasarkan pada banyak dalil dan kaidah ushul
fiqih, antara lain makna firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 173: “Sungguh Allah SWT mengaharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT. Tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (darurat)sedang ia tidak menginginkannya dan juga tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah SWT itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Dan kaidah ushul fiqih yang amat popular: “adl-dlaruuraatu tubiichul  machdhuuraat” (keadaan darurat itu menyebabkan bolehnya diklakukan hal-hal yang dilarang).

     Terkait dengan pengobatan memakai barang najis (kencing, misalnya), maka hal ini dapat dikaitkan dengan menjaga eksistensi jiwa (nyawa, chifdhunnafs), artinya orang yang sakit itu bisa terancam jiwanya, karenaitu harus berobat sebagai upaya penyembuhan dalam rangka mempertahankan eksistensi jiwanya. Maka dari itu para fuqaha’ sepakat, bahwa berobat itu hukumnya wajib. Mengenai cara yang ditempuh untuk  pengobatan suatu penyakit, maka boleh dengan cara apa saja asal tidak melanggar ketentuan pokok ajaran islam, yakni tidak menempuh jalan syirik. Tetapi dalam pengobatan ini mestinya semua muslim mengerti dan pada dasarnya harus meyakini, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya. Dan menjadikan obat pada setiap penyakit. Maka berobatlah kamu tetapi jangan berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidziy, an-Nasa-iy dan al-BAihaqiy dari Abu Darda’). Jadi prinsip ini yang harus di pedomani terlebih dahulu, yakni berobat dengan yang halal, atau tidak berobat dengan yang haram. Tetap jika ada penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan baru diketahui obatnya yang justru dari barang haram, maka hal ini tentu masuk dalam kategori perkecualian, dan boleh menggunakan dasar darurat.

     Kebebasan cara tersebut tentu harus dengan tetap mematuhi prosedur pengobatan yang secara medis dianggap wajar. Artinya, siapapun muslim yang sakit maka harus berobat dengan cara-cara yang halal menurut ketentuan ajaran islam. Tetapi apabila berbagai cara halal sudah ditempuh ternyata belum sembuh, maka jika ada cara lain yang diyakini dapat menjadi perantara kesembuhannya, walaupun cara itu haram seperti menggunakan barang najis (minum air kencing, misalnya) maka diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa orang yang sakit pada zaman Nabi SAW diperbolehkan meminum air kencing onta sebagai obat (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Juga didasarkan pada kaidah ushul fiqih diatas : “adl-dlaruuraatu tubiichul  machdhuuraat” (keadaan darurat itu menyebabkan bolehnya diklakukan hal-hal yang dilarang).

     Yang dimaksud keadaan darurat yang membolehkan dilakukannya hal-hal yang mestinya dilarang adalah keadaan sangat terpaksa yang apabila dibiarkan akan terjadi kehancuran atau bahkan kematian. Keadaan tersebut terkait eksistensi agama, nyawa, akal, keturunan/kehormatan dan harta. Sedang penetapan apakah sesuatu itu sudah dalam keadaan darurat atau belum, maka harus dilakukan oleh orang yang berakal sehat, berhati taat dan berilmu manfaat (terkait keadaan tersebut).

     Tetapi jika cara penyembuhan itu mengandung syirik, maka apapun alasannya tetap tidak diperbolahkan. Keadaan darurat tidak dapat dipakai jika solusinya syirik. Lebih baik tetap sakit atau bahkan mati, dari pada harus menukar agama atau mengotori aqidah dengan syirik, karena Allah SWT tidak berkenan mengampuni dosa syirik (kalau sampai terbawa mati), sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 116 (yang maknanya): “Sungguh Allah SWT tidak berkenan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya, dan berkenan mengampuni dosa apa saja selain syirik tersebut, bagi siapa saja yang dikendaki-Nya…”

     Bagaimana halnya jika ada suplemen, serum atau apapun namanya dengan bahan baku dari unsur babi, khamr, darah atau bangkai, yang dipergunakan untuk imunisasi (kekebalan terhadap penyakit), maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan pemakaiannya karena belum dalam keadaan darurat. Juga harus dipertanyakan tidak adakah bahan selain babi, khamr, darah atau bangkai? Tapi apabila suatu waktu ada penelitian akurat terhadap air kencing misalnya, yang dilalukan oleh peneliti muslim dan diakui oleh dokter muslim, bahwa air kencing amat bermanfaat bagi kesehatan, kemudian diolah sedemikian rupa sehingga hilang identitasnya sebagai air kencing, maka dapat dan boleh dijadikan bahan imunisasi, karena keharaman air kencing masih interpretable dan memiliki kelenturan, tidak seberat dan seketat haramnya babi, khamr, darah atau bangkai. Mengenai najisnya substansi air kencing, secara fiqhiyyah ttidak dapat ditawar, diapakan pun tetaplah najis.

Wallaahu a’lam

No comments:

Post a Comment