menurut (1) Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A.
Maksud dari meng-qadla’ shalat adalah melaksanankan
shalat diluar waktunya bukan karena jama’. Para ulama fiqih sepakat, bahwa
kewajiban shalat tidak boleh ditinggalkan sama sekali tanpa ‘udzur syar’iy (halangan yang dibenarkan
hukum islam). Sedang ‘udzurnya shalat hanyalah dua macam, yaitu lupa dan/atau
tertidur. Sehingga setiap sholat yang tertinggal harus dilaksanakan di waktu
lain (qadla’).
Berdasarkan Hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan
an-Nisa’iy, bahwa Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya):……. Utang kepada Allah lebih berhak dibayar daripada utang pada sesama
manusia. Sekalipun Hadits ini berkaitan dengan masalah utang haji, tapi
para fuqoha’ menyatakan bahwa Hadits ini berlaku juga bagi orang yang punya
hutang shalat, karena haji dan shalat merupakan ibadah kepada Allah SWT dan
merupakan rukun islam. Alasan lain adalah sabda Rasululloh SAW yang maknanya: jika tertinggal shalat salah seorang dari
kamu atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat, karena Allah
berfirman, dirikanlah shalat untuk mengingat-KU (HR. Muslim dari Anas
RA). Sabda Nabi SAW yang maknanya: siapa yang lupa mengerjakan shalat maka
hendaklah dia meng-qadla’nya ketika ingat, tidak ada kafarat selain itu
(diriwayatkan oleh al_bukhariy).
Khusus wanita yang haidl
memang tidak perlu meng-qadla’ shalat
yang tertinggal selama masa haidl. Ini semata karena kemurahan dan dispensasi
dari Rasulullah SAW agar tidak memberatkan wanita yang memang secara kodrati
punya halangan rutin dan cukup lama. Kalau diharuskan meng-qadla, sangat
memberatkan. Dalam Hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah (mayoritas
ahli Hadits) dari ‘Aisyah RA. Berkata (yang maknanya): Dahulu pada zaman Rasululloh, jika kami haidl diperintahkan mengqadla’ puasa,
tapi tidak diperintahkan mrngqadla’ shalat. Ada pula sebagian ul;ama yang
menjadikan Hadits ini sebagai dasar untuk
tidak perlunya meng-qadla
shalat yang tertinggal. Tetapi menurut
penulis itu tidak tepat, apalagi jika dipahami banyak Hadits shahih yang
mengharuskan umat islam meng-qadla’ (atau apapun namanya) shalat yang
tertinggal.
Sakit tidak termasuk ‘udzurnya
shalat. Karena itu ada tingkatan cara mengerjakan shalat bagi orang yang sakit,
yaitu: berdiri, bila tak mampu dengan duduk, bila tak mampu dengan berbaring
miring, bila tak mampu dengan terlentang. Dengan demikian orang sakit apapun
(selain amnesia) tetap dapat dan wajib mengerjakan shalat dengan cara yang dia
sanggupi. Oleh karena itu tak boleh ada shalat yang tertinggal. Andai ada yang
tertinggal harus meng-qadla sendiri
dan tidak bisa di qadla oleh orang
lain, apalagi membayar orang untuk itu.
Juga tidak dibenarkan adanya tidakan salah kaprah sementara kalangan, yaitu
membayar fidyah (tebusan berupa beras
1 sha’/2,75 liter untuk satu kali
shalat) bagi shalat yang tertinggal. Hal ini tidak ada tuntunan, perintah atau
contoh dari Rasulullah SAW. Mengingat masalah ini terkait dengan ibadah mahdlah (murni), maka harus ada dalil naqlynya, dan tidak dapat ditetapkan
oleh akal saja. Dalam kaidah fiqhiyyah dinyatakan,
bahwa: “hukum asal peribadatan itu adalah
tidak sah, sampai ada dalil yang memerintahkannya”.
Padahal tak satupun ayat
atau Hadits shahih yang secara eksplisit maupun implisit menyatakan keharusan
mengganti shalat dengan kafarat
(membayar fidyah), apapun ‘udzurnya. Bahkan ada sebuah Hadits
shahih yang diriwayatkan dari Anas RA., bahwa Rasulullah SAW menegaskan tidak
perlunya kafarat terhadap shalat yang tertinggalkan, yaitu: Siapa yang lupa mengerjakan shalat maka
hendaklah dia mengqadlanya ketika ingat, tidak ada kafarat selain itu
(diriwayatkan oleh al-Bukhariy).
Secara psikologis, pendapat
yang membolehkan qadla’ tertinggal dengan membayar fidyah
dapat menyebabkan orang yang sakit kurang perhatian pada shalat. Karena dapat
dibayar dengan fidyah bila dia
meninggalkan shalat. Sehingga keluarganya yang sehat punkurang memperdulikan
bagaimana seharusnya posisi tempat tidurnya (posisi membujurnya) agar si sakit
tetap dapat mengerjakan shalat dengan cara paling maksimal dalam kondisi paling
minimal.
Terkait hal ini patut
dicermati fatwa Syaikh Hasan Ma’mun berikut:
“
Tetapi sebagian fuqaha’ berpendapat bolehnya menebus shalat seseorang setelah
wafatnya dengan membayar fidyah, yaitu mengeluarkan setengah sha’ gandum, atau
satu sha’ (2.75 liter) kurma atau jelai untuk setiap satu halat fardlu (wajib)
yang tertinggal…..dan telah kami tegaskan, bahwa pendapat ini tidak didasarkan
pada suatu dalil yang dapat dijadikan pijakan.”
Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment