Wednesday, October 3, 2012

Bagaimana Hukum Qadla’ Shalat?



menurut (1) Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A.
     Maksud dari meng-qadla’ shalat adalah melaksanankan shalat diluar waktunya  bukan karena jama’. Para ulama fiqih sepakat, bahwa kewajiban shalat tidak boleh ditinggalkan sama sekali tanpa ‘udzur syar’iy (halangan yang dibenarkan hukum islam). Sedang ‘udzurnya shalat hanyalah dua macam, yaitu lupa dan/atau tertidur. Sehingga setiap sholat yang tertinggal harus dilaksanakan di waktu lain (qadla’).
Berdasarkan Hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan an-Nisa’iy, bahwa Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya):……. Utang kepada Allah lebih berhak dibayar daripada utang pada sesama manusia. Sekalipun Hadits ini berkaitan dengan masalah utang haji, tapi para fuqoha’ menyatakan bahwa Hadits ini berlaku juga bagi orang yang punya hutang shalat, karena haji dan shalat merupakan ibadah kepada Allah SWT dan merupakan rukun islam. Alasan lain adalah sabda Rasululloh SAW yang maknanya: jika tertinggal shalat salah seorang dari kamu atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat, karena Allah berfirman, dirikanlah shalat untuk mengingat-KU (HR. Muslim dari Anas RA).  Sabda Nabi SAW yang maknanya: siapa yang lupa mengerjakan shalat maka hendaklah dia meng-qadla’nya ketika ingat, tidak ada kafarat selain itu (diriwayatkan oleh al_bukhariy).

      Khusus wanita yang haidl memang tidak perlu meng-qadla’ shalat yang tertinggal selama masa haidl. Ini semata karena kemurahan dan dispensasi dari Rasulullah SAW agar tidak memberatkan wanita yang memang secara kodrati punya halangan rutin dan cukup lama. Kalau diharuskan meng-qadla, sangat memberatkan. Dalam Hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah (mayoritas ahli Hadits) dari ‘Aisyah RA. Berkata (yang maknanya): Dahulu pada zaman Rasululloh, jika kami haidl diperintahkan mengqadla’ puasa, tapi tidak diperintahkan mrngqadla’ shalat. Ada pula sebagian ul;ama yang menjadikan Hadits ini sebagai dasar untuk  tidak perlunya meng-qadla shalat yang  tertinggal. Tetapi menurut penulis itu tidak tepat, apalagi jika dipahami banyak Hadits shahih yang mengharuskan umat islam meng-qadla’ (atau apapun namanya) shalat yang tertinggal.

     Sakit tidak termasuk  ‘udzurnya shalat. Karena itu ada tingkatan cara mengerjakan shalat bagi orang yang sakit, yaitu: berdiri, bila tak mampu dengan duduk, bila tak mampu dengan berbaring miring, bila tak mampu dengan terlentang. Dengan demikian orang sakit apapun (selain amnesia) tetap dapat dan wajib mengerjakan shalat dengan cara yang dia sanggupi. Oleh karena itu tak boleh ada shalat yang tertinggal. Andai ada yang tertinggal harus meng-qadla sendiri dan tidak bisa di qadla oleh orang lain, apalagi membayar orang untuk  itu. Juga tidak dibenarkan adanya tidakan salah kaprah sementara kalangan, yaitu membayar fidyah (tebusan berupa beras 1 sha’/2,75 liter untuk satu kali shalat) bagi shalat yang tertinggal. Hal ini tidak ada tuntunan, perintah atau contoh dari Rasulullah SAW. Mengingat masalah ini terkait dengan ibadah mahdlah (murni), maka harus ada dalil naqlynya, dan tidak dapat ditetapkan oleh akal saja. Dalam kaidah fiqhiyyah dinyatakan, bahwa: “hukum asal peribadatan itu adalah tidak sah, sampai ada dalil yang memerintahkannya”.

     Padahal tak satupun ayat atau Hadits shahih yang secara eksplisit maupun implisit menyatakan keharusan mengganti shalat dengan kafarat (membayar fidyah), apapun ‘udzurnya. Bahkan ada sebuah Hadits shahih yang diriwayatkan dari Anas RA., bahwa Rasulullah SAW menegaskan tidak perlunya kafarat terhadap shalat yang tertinggalkan, yaitu: Siapa yang lupa mengerjakan shalat maka hendaklah dia mengqadlanya ketika ingat, tidak ada kafarat selain itu (diriwayatkan oleh al-Bukhariy).

      Secara psikologis, pendapat yang membolehkan qadla’ tertinggal dengan membayar  fidyah dapat menyebabkan orang yang sakit kurang perhatian pada shalat. Karena dapat dibayar dengan fidyah bila dia meninggalkan shalat. Sehingga keluarganya yang sehat punkurang memperdulikan bagaimana seharusnya posisi tempat tidurnya (posisi membujurnya) agar si sakit tetap dapat mengerjakan shalat dengan cara paling maksimal dalam kondisi paling minimal.

        Terkait hal ini patut dicermati fatwa Syaikh Hasan Ma’mun berikut:
“ Tetapi sebagian fuqaha’ berpendapat bolehnya menebus shalat seseorang setelah wafatnya dengan membayar fidyah, yaitu mengeluarkan setengah sha’ gandum, atau satu sha’ (2.75 liter) kurma atau jelai untuk setiap satu halat fardlu (wajib) yang tertinggal…..dan telah kami tegaskan, bahwa pendapat ini tidak didasarkan pada suatu dalil yang dapat dijadikan pijakan.”


Wallahu A’lam
















No comments:

Post a Comment